Eva Riyanty Lubis
Kalau saja aku bisa bersikap lebih tegas, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi. Kalau saja aku bisa sedikit lebih dewasa, mungkin masalah itu akan selesai. Hah… Berbagai macam pengandaian. Namun hidup terus berjalan. Tak akan pernah ada pintu ajaib doraemon untuk mengulangnya kembali.
Aku gadis kecil diam sendiri. Duduk meringkuk menahan dingin. Memeluk sisa tulang yang membungkus. Mulut terkunci rapat padahal menangis. Getaran tubuhku berkata seolah ia hendak ingin berlari. Rambutku pun demikian. Tarik menarik seolah ingin berpisah denganku. Ah…. Mereka berontak! Ingin mencari raga baru.
Pilu hatiku. Tidakkah mereka ingat kisah manis selama puluhan tahun itu? Tidakkah mereka cukup dewasa memikirkan nasibku kini?
Aku berjalan. Terus berjalan tanpa memperhatikan tatapan orang yang mungkin memandangku dan berfikir kalau aku ini aneh. Sebab aku terus berjalan dan menundukkan wajah. Murung. Gelisah. Aku berjalan tanpa tujuan. Lunglai. Lesu. Tak ada gairah hidup. Lama-lama seperti manusia tak bernyawa. Pucat.
Suara desiran air mengalir pelan. Dedaunan bergerak ke sana kemari seolah menyambutku. Sungai. Kini aku ada di tepian sungai. Aku bahkan tidak menyadari kalau aku sudah berjalan sejauh itu.
Saat ini, aku tinggal di sebuah kampung kecil di Padangsidimpuan. Keluarga kami merupakan keluarga terpandang di sini.
Di kampung ini, ada sebuah sungai yang sangat jernih. Namun, penduduk tidak lagi melakukan aktifitas di sungai seperti mandi, mencuci dan sebagainya disebabkan mereka telah memiliki sumur sendiri. Hal itulah yang membuat sungai ini tetap bersih dan jernih.
Kuputuskan untuk beristirahat sejenak. Meregangkan sendi-sendi yang mulai kelu. Ingin aku menikmati desiran air yang mengalir begitu tenang. Dan aku bersyukur hanya ada aku di sini. Kulipat celanaku ke atas. Lalu aku berlari kecil ke sungai yang begitu jernih itu. “Segarnya….” Aku pun mulai membasuh wajahku.
Ah…. Baru kusadari bahwa lelah ini begitu menumpuk.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Seseorang mengagetkan dan membuatku hampir terjatuh. Suaranya yang menyeramkan berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Tubuhku seakan menegang. Aku masih berdiri di tempatku. Namun aura seseorang yang ada di belakangmu menyuruhku agar berbalik. Dan perlahan tapi pasti, aku lakukan itu.
Sesosok banyangan. Berdiri beberapa meter di depanku. Namun kakinya tak menyentuh tanah. Mukanya hitam legam. Tampak beberapa goresan luka di sana. Rambutnya menjuntai panjang tak terurus. Kukunya hitam panjang. Warna bajunya juga hitam. Aku benar-benar ketakutan. Apalagi dengan tatapan matanya yang sangat tajam. Melotot seperti hendak keluar.
“Kau seharusnya di rumahmu! Bukan di sini!” Dia membentakku. Aku kaget dan terhenyak. Ingin kuberlari, namun kakiku serasa lumpuh. Ya Tuhan…. Aku benar-benar takut. Saking takutnya aku bahkan ingin menangis.
“Kau bodoh! Sudah tujuh belas tahun namun sikapmu benar-benar kekanak-kanakan. Ayo ngomong! Kau punya mulutkan?”
Dia kembali membentakku. Kurasakan kalau keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhku.
“Bodoh!”
Dia kembali mengataiku. Dengan tatapan matanya yang menakutkan dan diakhiri tawa nyaring yang menyeramkan.
Aku paling tidak terima kalau dikatai bodoh. Aku yang semula takut akhirnya memberanikan diri untuk menjawab perkataannya.
“A… a… apa maksudmu mengataiku? Siapa kau?”
“Akulah yang akan melindungimu. Sekarang pulanglah ke rumah, dan katakan kau membenci mereka. Katakan kau menyesal telah mempunyai orang tua seperti mereka.”
“Tidaaaaaaaaak!” entah dari mana keberanian itu datang. Ya…. Aku berteriak membentaknya.
“Kau kesalkan dengan keputusan mereka? Kau bencikan sama mereka? Ayolah, katakan kepadaku!”
Kali ini suaranya lebih pelan. Namun, ada senyum sinis di sudut bibirnya yang hitam legam itu.
“Aku memang kesal kepada mereka. Tapi tidak benci. Mereka orang tuaku,” jawabku juga dengan intonasi yang mulai pelan.
Dia tertawa. Nyaring. Persis seperti suara kuntilanak yang sering aku tonton di televisi. Membuatku semakin merinding. Kucoba melangkahkan kakiku ke luar dari sungai. Namun sia-sia. Seperti tertancap. Dia memandangku dengan seringainya yang mengerikan. Mungkin dia tahu kalau aku berusaha pergi dari tempat itu.
“Bunuh mereka! Setelah itu kau akan bahagia. Kau akan puas! Tidak akan ada lagi yang mengusikmu. Lalu kau akan bebas dari kegalauan dan kegundahan. Hidupmu akan menjadi indah. Kembali seperti semula. Hidup yang memang kau inginkan.”
Setelah mengucapkan itu dia kembali tertawa nyaring.
“Aku tidak bisa melakukan itu,” ucapku agak berteriak dan menatap bola matanya lekat.
“Kau bisa. Tak perlu pisau atau alat senjata lainnya. Pulanglah ke rumah. Temui mereka dan katakan kau membenci mereka. Setelah itu bunuh mereka. Tatkala kebencian itu muncul dari dasar hatimu, kukumu akan berubah semakin panjang. Bunuh mereka dengan itu! Sangat mudah bukan? Jangan takut. Aku akan selalu mendampingimu. Aku akan selalu ada untukmu. Tanpa kau panggil pun, aku akan datang.”
“Cepat lakukan! Sebelum mereka pergi dan kau akan susah untuk mencari jejak mereka! Percayalah padaku, Gadis manis…”
Itu kalimat terakhirnya. Kemudian, ia kembali tertawa. Setelah tawa nyaringanya itu reda, dia kemudian menghilang dalam sekejap dari pandanganku.
Aku kaget bukan main.
Setelah kepergiannya, aku mencoba melangkahkan kakiku. Oh, kau harus tahu, dengan mudah aku bisa melangkahkannya. Lalu secepat kilat aku kembali berjalan. Begitu cepat. Seperti ada seseorang yang menggerakkanku. Aku bahkan tidak bisa mengontrolnya. Aku terus berjalan dan tak lama lagi aku akan tiba di rumah.
Kemudian yang muncul dalam dipikiranku hanya satu. Membunuh mereka. Orang tuaku.
Tiga bulan yang lalu. Sebelum semuanya bermula.
Aku beserta orang tuaku tinggal di sebuah perumahan mewah di Medan. Tetapi karena perusahaan sawit Bapak mengalami masalah, yakni adanya kasus pencurian sawit yang seharusnya dikirim ke Medan tetapi tak jua kunjung tiba. Hal itu terjadi hingga berkali-kali. Akibatnya keuangan perusahaan pun menjadi menipis.
Akhirnya Bapak dan Ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Kampung halaman Bapak tepatnya. Dan yang mengurus perusahaan di Medan adalah orang kepercayaan Bapak. Sedang aku tetap berada di Medan. Menunggu libur sekolah tiba agar bisa menyusul mereka di kampung.
Cinta tak pernah salah menuju tuan rumahnya. Walau dengan kondisi apa pun. Cinta tetaplah sama. Sebab, tak ada penghalang untuk cinta. Dan semua berhak mendapatkannya. Tanpa terkecuali.
Hari libur sekolah telah tiba. Sebelum berangkat ke kampung, aku menyempatkan diri pergi ke mall untuk membeli beberapa keperluan yang mungkin sulit di dapatkan di kampung. Namun sesuatu menghentikan langkahku. Yang membuat aliran darahku mengalir tersendat. Nafasku sesak. Kurasakan mukaku memanas.
Malaikatku bergandengan tangan mesra dengan seseorang yang tak kukenal. Oh ya, kusebut dia malaikatku sebab selain rupanya yang menawan, dialah yang selalu ada untukku di kala susah dan senang.
Lelaki yang bersamanya itu mungkin berusia sama dengannya. “Ah… pasti salah lihat. Ibu kan ada di kampung dengan Bapak,” lirihku dalam hati.
Kugeleng-gelengkan kepalaku agar bayangan mereka segera menghilang dari pikiranku. Dan setelah itu aku berbalik arah. Berjalan dari arah yang tidak akan mungkin mereka lihat.
*
Akhirnya aku tiba di kampung. Bapak menyambutku dengan hangat. Itu sifatnya yang sangat kusukai. Begitu lembut. Memanjakanku penuh dengan kasih sayang.
“Ibu di mana?” tanyaku setelah tak menemukan wajahnya di rumah besar itu.
“Ada urusan katanya. Dua hari yang lalu dia berangkat ke Medan.”
Burrrrrrr…. Ada gejolak lain dalam diriku. “Apa yang kemaren itu Ibu?” pikirku mengingat kejadian tempo hari. “Tidak! Pasti tidak!” kupaksa batinku untuk menolak kenyataan pahit itu.
Keesokan harinya Ibu muncul. Wajahnya tampak lelah. Tak ada senyum manis di sana. Dia lebih banyak diam. Hal yang jarang kudapati. Sampai ketika kami berkumpul untuk makan malam bersama.
“Ceraikan aku, Bang Jon.”
Grrrrrrr…. Petir seakan meledak dari dalam diriku. Ku lihat Bapak juga merasakan hal yang sama. Matanya melotot karena terkejut. Suasana mendadak hening. Makanan yang sudah terhidang lengkap di depan kami akhirnya tak tersentuh.
“Apa maksudmu?” Bapak akhirnya buka mulut. Menatap malaikatku dengan tatapan matanya yang tajam.
“Ceraikan aku,” ulang Ibu sambil memandang makanan yang ada di hadapannya tanpa menatap Bapak sedikitpun.
“Kau seharusnya tidak mengucapkan itu di dekat putrimu!”
“Biar dia tahu. Dia sudah dewasa. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi.”
“Ada masalah apa ini?” aku memberanikan diri untuk buka suara. Namun kurasakan genangan kristal bening mulai jatuh di pipiku. Aku benar-benar takut untuk menerima kenyataan seperti saat ini.
“Ibu nggak cinta sama Bapakmu. Ibu sudah punya kekasih,” jawab Ibu tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Setelah tujuh belas tahun kamu berani mengatakan itu? Di mana harga dirimu, Irma?” Bapak tampak naik pitam. Ditatapnya Ibu lekat-lekat. Ada gurat kekecewaan di wajahnya. Aku benar-benar panik. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku nggak bisa mencintaimu, Bang! Aku sudah berusaha. Namun hatiku yang tersiksa!” Suara Ibu meninggi.
“Setelah kamu mendapatkan semuanya kini kamu berani mengatakan itu? Kau yang memulai, Irma! Kau! Kau yang datang padaku mengemis belas kasihan! Kau lupakan itu semua? Setan doho!”[1]
Tampak emosi terpancar di wajah Bapak yang biasanya tak banyak omong. Setahuku mereka pasangan yang serasi. Walau umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh tahun.
Aku memang tak pernah menemukan mereka sekedar bercanda tawa atau bermesra-mesraan. Tetapi walau begitu, aku bisa merasakan cinta yang alami dari mereka berdua. Dari cara mereka bertatapan, cara mereka mengasuhku, aku bisa melihat itu. Setahuku mereka juga tak pernah bertengkar. Tetapi mengapa ini bisa terjadi? Ada apa di balik semua ini? Aku benar-benar bingung.
“Aku minta maaf, Bang. Aku masih mencintainya. Kekasihku di masa lalu. Dia berjanji akan mencintaiku lagi. Kami akan memulainya dari awal. Abang, aku terus menerus diliputi rasa bersalah dengan berpura-pura mencintaimu. Abang boleh mengambil Naya. Aku ikhlas. Pun kekasihku, dia ikhlas. Kami sama-sama ikhlas kalau Naya sama Abang.”
Mendengarnya, air mataku semakin mengucur deras. Mulutku seakan terkunci rapat. Hanya bisa menangis dan melihat pertengkaran mereka.
“Kau datang mengemis cinta di saat aku memiliki segalanya. Sekarang tatkala perusahaan sedang mengalami masalah, kau pun bertingkah. Harusnya dari awal aku sadar kau hanya memanfaatkanku. Sekarang, bawa anak harammu itu dan pergilah dari hidupku. Polo idoma giotmu!”[2]
Aku ternganga. “Apa maksud Bapak dengan anak haram? Akukah itu?”
“Abang lebih dekat dengan Naya. Dia juga akan memilih bersamamu, Abang. Kami tidak keberatan, Abang.”
“Tidaaaaaak! Ambil semua barangmu dan pergi dari sini!” Bapak membentak Ibu. Nafasnya tampak naik turun tidak beraturan. Kemudian ia pergi meninggalkan kami.
Aku sungguh merasa kaget, tidak bisa berkata-kata. Tangisku kembali pecah. Semakin kencang. Ibu juga melongos pergi meninggalkanku. Aku kini sendiri. Tanpa seorang pun yang memperhatikan.
*
Aku menatap kedua manusia yang tengah membereskan barangnya masing-masing. Pertama aku berjalan ke arah Ibu. Rasa benciku semakin menggunung sejak aku tahu bahwa aku anak haram hasil hubungannya dengan mantan kekasihnya itu. Pasti lelaki yang kulihat di mall waktu itu. Karena lelaki itu tidak bertanggung jawab, Ibu meminta Bapak menikahinya. Dulunya Bapak merupakan bos di tempat ibu bekerja.
Kasihan, Bapak akhirnya menerima Ibu. Dan waktu itu memang Bapak juga belum menikah. Keasyikan mencari uang membuatnya lupa akan kewajibannya berkeluarga.
Aku menatap Ibu dengan perasaan jijik. Tanganku hendak mencekik lehernya. Dan secara tiba-tiba aku dikejutkan dengan kukuku yang telah berubah menjadi panjang. Aku menatapnya dengan penuh rasa kebencian. Lalu mulai menikam lehernya. Dia menjerit. Berteriak histeris. Meminta pertolongan. Napasnya mengap-mengap.
Lambat laun ku dengar derap langkah kaki seseorang. Bapak. Yang berusaha melepaskan cengkramanku dari leher Ibu.
Bapak berteriak. Menyuruhku menghentikan semuanya. Mukanya memerah. Namun sekuat mereka berusaha meleraiku, aku malah mencekik Ibu sejadi-jadinya. Mungkin sosok hitam itulah yang memberiku kekuatan hingga bisa berbuat begini.
“Hentikan Nayaaaaaa!!!”
Tidak kugubris ucapan Bapak. Aku semakin menjadi-jadi. Kulihat muka Ibu sudah menunjukkan kelelahan. Nafasnya terpenggal-penggal. Mungkin beberapa menit lagi dia sudah berada di alam lain.
“Nayaaaaaaaa….” Bapak kembali berteriak semakin keras. Menarikku sekencang-kencangnya dari tubuh Ibu.
Tiba-tiba.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….” Teriakan histeris menggema di ruangan itu. Sedang aku sudah terpelanting beberapa meter dari mereka. Aku ternganga melihat pemandangan yang tampak di depan mata. Ibu, dengan matanya yang memerah serta kukunya yang tiba-tiba memanjang, menancapkan kuku-kuku itu dengan sempurna di perut Bapak.
[1] Kau setan.
[2] Kalau itu maumu.
(Tulisan ini dimuat di Harian Analisa. Rabu,03 Agustus 2016)