Cerpen – Dendam Salah Alamat

Eva Riyanty Lubis

            Kalau saja aku bisa bersikap lebih tegas, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi. Kalau saja aku bisa sedikit lebih dewasa, mungkin masalah itu akan selesai. Hah… Berbagai macam pengandaian. Namun hidup terus berjalan. Tak akan pernah ada pintu ajaib doraemon untuk mengulangnya kembali.

            Aku gadis kecil diam sendiri. Duduk meringkuk menahan dingin. Memeluk sisa tulang yang membungkus. Mulut terkunci rapat padahal menangis. Getaran tubuhku berkata seolah ia hendak ingin berlari. Rambutku pun demikian. Tarik menarik seolah ingin berpisah denganku. Ah…. Mereka berontak! Ingin mencari raga baru.

Pilu hatiku. Tidakkah mereka ingat kisah manis selama puluhan tahun itu? Tidakkah mereka cukup dewasa memikirkan nasibku kini?

            Aku berjalan. Terus berjalan tanpa memperhatikan tatapan orang yang mungkin memandangku dan berfikir kalau aku ini aneh. Sebab aku terus berjalan dan menundukkan wajah. Murung. Gelisah. Aku berjalan tanpa tujuan. Lunglai. Lesu. Tak ada gairah hidup. Lama-lama seperti manusia tak bernyawa. Pucat.

            Suara desiran air mengalir pelan. Dedaunan bergerak ke sana kemari seolah menyambutku. Sungai. Kini aku ada di tepian sungai. Aku bahkan tidak menyadari kalau aku sudah berjalan sejauh itu.

Saat ini, aku tinggal di sebuah kampung kecil di Padangsidimpuan. Keluarga kami merupakan keluarga terpandang di sini.

Di kampung ini, ada sebuah sungai yang sangat jernih. Namun, penduduk tidak lagi melakukan aktifitas di sungai seperti mandi, mencuci dan sebagainya disebabkan mereka telah memiliki sumur sendiri. Hal itulah yang membuat sungai ini tetap bersih dan jernih.

Kuputuskan untuk beristirahat sejenak. Meregangkan sendi-sendi yang mulai kelu. Ingin aku menikmati desiran air yang mengalir begitu tenang. Dan aku bersyukur hanya ada aku di sini. Kulipat celanaku ke atas. Lalu aku berlari kecil ke sungai yang begitu jernih itu. “Segarnya….”  Aku pun mulai membasuh wajahku.

Ah…. Baru kusadari bahwa lelah ini begitu menumpuk.

            “Apa yang kamu lakukan di sini?” Seseorang mengagetkan dan membuatku hampir terjatuh. Suaranya yang menyeramkan berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Tubuhku seakan menegang. Aku masih berdiri di tempatku. Namun aura seseorang yang ada di belakangmu menyuruhku agar berbalik. Dan perlahan tapi pasti, aku lakukan itu.

            Sesosok banyangan. Berdiri beberapa meter di depanku. Namun kakinya tak menyentuh tanah. Mukanya hitam legam. Tampak beberapa goresan luka di sana. Rambutnya menjuntai panjang tak terurus. Kukunya hitam panjang. Warna bajunya juga hitam. Aku benar-benar ketakutan. Apalagi dengan tatapan matanya yang sangat tajam. Melotot seperti hendak keluar.

            “Kau seharusnya di rumahmu! Bukan di sini!” Dia membentakku. Aku kaget dan terhenyak. Ingin kuberlari, namun kakiku serasa lumpuh. Ya Tuhan…. Aku benar-benar takut. Saking takutnya aku bahkan ingin menangis.

            “Kau bodoh! Sudah tujuh belas tahun namun sikapmu benar-benar kekanak-kanakan. Ayo ngomong! Kau punya mulutkan?”

            Dia kembali membentakku. Kurasakan kalau keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhku.

            “Bodoh!”

            Dia kembali mengataiku. Dengan tatapan matanya yang menakutkan dan diakhiri tawa nyaring yang menyeramkan.

Aku paling tidak terima kalau dikatai bodoh. Aku yang semula takut akhirnya memberanikan diri untuk menjawab perkataannya.

            “A… a… apa maksudmu mengataiku? Siapa kau?”

            “Akulah yang akan melindungimu. Sekarang pulanglah ke rumah, dan katakan kau membenci mereka. Katakan kau menyesal telah mempunyai orang tua seperti mereka.”

            “Tidaaaaaaaaak!” entah dari mana keberanian itu datang. Ya…. Aku berteriak membentaknya.

            “Kau kesalkan dengan keputusan mereka? Kau bencikan sama mereka? Ayolah, katakan kepadaku!”

            Kali ini suaranya lebih pelan. Namun, ada senyum sinis di sudut bibirnya yang hitam legam itu.

            “Aku memang kesal kepada mereka. Tapi tidak benci. Mereka orang tuaku,” jawabku juga dengan intonasi yang mulai pelan.

            Dia tertawa. Nyaring. Persis seperti suara kuntilanak yang sering aku tonton di televisi. Membuatku semakin merinding. Kucoba melangkahkan kakiku ke luar dari sungai. Namun sia-sia. Seperti tertancap. Dia memandangku dengan seringainya yang mengerikan. Mungkin dia tahu kalau aku berusaha pergi dari tempat itu.

            “Bunuh mereka! Setelah itu kau akan bahagia. Kau akan puas! Tidak akan ada lagi yang mengusikmu. Lalu kau akan bebas dari kegalauan dan kegundahan. Hidupmu akan menjadi indah. Kembali seperti semula. Hidup yang memang kau inginkan.”

            Setelah mengucapkan itu dia kembali tertawa nyaring.

            “Aku tidak bisa melakukan itu,” ucapku agak berteriak dan menatap bola matanya lekat.

            “Kau bisa. Tak perlu pisau atau alat senjata lainnya. Pulanglah ke rumah. Temui mereka dan katakan kau membenci mereka. Setelah itu bunuh mereka. Tatkala kebencian itu muncul dari dasar hatimu, kukumu akan berubah semakin panjang. Bunuh mereka dengan itu! Sangat mudah bukan? Jangan takut. Aku akan selalu mendampingimu. Aku akan selalu ada untukmu. Tanpa kau panggil pun, aku akan datang.”

            “Cepat lakukan! Sebelum mereka pergi dan kau akan susah untuk mencari jejak mereka! Percayalah padaku, Gadis manis…”

            Itu kalimat terakhirnya. Kemudian, ia kembali tertawa. Setelah tawa nyaringanya itu reda, dia kemudian menghilang dalam sekejap dari pandanganku.

            Aku kaget bukan main.

Setelah kepergiannya, aku mencoba melangkahkan kakiku. Oh, kau harus tahu, dengan mudah aku bisa melangkahkannya. Lalu secepat kilat aku kembali berjalan. Begitu cepat. Seperti ada seseorang yang menggerakkanku. Aku bahkan tidak bisa mengontrolnya. Aku terus berjalan dan tak lama lagi aku akan tiba di rumah.

Kemudian yang muncul dalam dipikiranku hanya satu. Membunuh mereka. Orang tuaku.

            Tiga bulan yang lalu. Sebelum semuanya bermula.

            Aku beserta orang tuaku tinggal di sebuah perumahan mewah di Medan. Tetapi karena perusahaan sawit Bapak mengalami masalah, yakni adanya kasus pencurian sawit yang seharusnya dikirim ke Medan tetapi tak jua kunjung tiba. Hal itu terjadi hingga berkali-kali. Akibatnya keuangan perusahaan pun menjadi menipis.

            Akhirnya Bapak dan Ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Kampung halaman Bapak tepatnya. Dan yang mengurus perusahaan di Medan adalah orang kepercayaan Bapak. Sedang aku tetap berada di Medan. Menunggu libur sekolah tiba agar bisa menyusul mereka di kampung.

            Cinta tak pernah salah menuju tuan rumahnya. Walau dengan kondisi apa pun. Cinta tetaplah sama. Sebab, tak ada penghalang untuk cinta. Dan semua berhak mendapatkannya. Tanpa terkecuali.

            Hari libur sekolah telah tiba. Sebelum berangkat ke kampung, aku menyempatkan diri pergi ke mall untuk membeli beberapa keperluan yang mungkin sulit di dapatkan di kampung. Namun sesuatu menghentikan langkahku. Yang membuat aliran darahku mengalir tersendat. Nafasku sesak. Kurasakan mukaku memanas.

            Malaikatku bergandengan tangan mesra dengan seseorang yang tak kukenal. Oh ya, kusebut dia malaikatku sebab selain rupanya yang menawan, dialah yang selalu ada untukku di kala susah dan senang.

Lelaki yang bersamanya itu mungkin berusia sama dengannya. “Ah… pasti salah lihat. Ibu kan ada di kampung dengan Bapak,” lirihku dalam hati.

Kugeleng-gelengkan kepalaku agar bayangan mereka segera menghilang dari pikiranku. Dan setelah itu aku berbalik arah. Berjalan dari arah yang tidak akan mungkin mereka lihat.

*

            Akhirnya aku tiba di kampung. Bapak menyambutku dengan hangat. Itu sifatnya yang sangat kusukai. Begitu lembut. Memanjakanku penuh dengan kasih sayang.

            “Ibu di mana?” tanyaku setelah tak menemukan wajahnya di rumah besar itu.

            “Ada urusan katanya. Dua hari yang lalu dia berangkat ke Medan.”

            Burrrrrrr…. Ada gejolak lain dalam diriku. “Apa yang kemaren itu Ibu?” pikirku mengingat kejadian tempo hari. “Tidak! Pasti tidak!” kupaksa batinku untuk menolak kenyataan pahit itu.

            Keesokan harinya Ibu muncul. Wajahnya tampak lelah. Tak ada senyum manis di sana. Dia lebih banyak diam. Hal yang jarang kudapati. Sampai ketika kami berkumpul untuk makan malam bersama.

            “Ceraikan aku, Bang Jon.”

            Grrrrrrr…. Petir seakan meledak dari dalam diriku. Ku lihat Bapak juga merasakan hal yang sama. Matanya melotot karena terkejut. Suasana mendadak hening. Makanan yang sudah terhidang lengkap di depan kami akhirnya tak tersentuh.

            “Apa maksudmu?” Bapak akhirnya buka mulut. Menatap malaikatku dengan tatapan matanya yang tajam.

            “Ceraikan aku,” ulang Ibu sambil memandang makanan yang ada di hadapannya tanpa menatap Bapak sedikitpun.

            “Kau seharusnya tidak mengucapkan itu di dekat putrimu!”

            “Biar dia tahu. Dia sudah dewasa. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi.”

            “Ada masalah apa ini?” aku memberanikan diri untuk buka suara. Namun kurasakan genangan kristal bening mulai jatuh di pipiku. Aku benar-benar takut untuk menerima kenyataan seperti saat ini.

            “Ibu nggak cinta sama Bapakmu. Ibu sudah punya kekasih,” jawab Ibu tanpa rasa bersalah sedikitpun.

            “Setelah tujuh belas tahun kamu berani mengatakan itu? Di mana harga dirimu, Irma?” Bapak tampak naik pitam. Ditatapnya Ibu lekat-lekat. Ada gurat kekecewaan di wajahnya. Aku benar-benar panik. Tidak tahu harus berbuat apa.

            “Aku nggak bisa mencintaimu, Bang! Aku sudah berusaha. Namun hatiku yang tersiksa!” Suara Ibu meninggi.

            “Setelah kamu mendapatkan semuanya kini kamu berani mengatakan itu? Kau yang memulai, Irma! Kau! Kau yang datang padaku mengemis belas kasihan! Kau lupakan itu semua? Setan doho!”[1]

            Tampak emosi terpancar di wajah Bapak yang biasanya tak banyak omong. Setahuku mereka pasangan yang serasi. Walau umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh tahun.

Aku memang tak pernah menemukan mereka sekedar bercanda tawa atau bermesra-mesraan. Tetapi walau begitu, aku bisa merasakan cinta yang alami dari mereka berdua. Dari cara mereka bertatapan, cara mereka mengasuhku, aku bisa melihat itu. Setahuku mereka juga tak pernah bertengkar. Tetapi mengapa ini bisa terjadi? Ada apa di balik semua ini? Aku benar-benar bingung.

            “Aku minta maaf, Bang. Aku masih mencintainya. Kekasihku di masa lalu. Dia berjanji akan mencintaiku lagi. Kami akan memulainya dari awal. Abang, aku terus menerus diliputi rasa bersalah dengan berpura-pura mencintaimu. Abang boleh mengambil Naya. Aku ikhlas. Pun kekasihku, dia ikhlas. Kami sama-sama ikhlas kalau Naya sama Abang.”

            Mendengarnya, air mataku semakin mengucur deras. Mulutku seakan terkunci rapat. Hanya bisa menangis dan melihat pertengkaran mereka.

            “Kau datang mengemis cinta di saat aku memiliki segalanya. Sekarang tatkala perusahaan sedang mengalami masalah, kau pun bertingkah. Harusnya dari awal aku sadar kau hanya memanfaatkanku. Sekarang, bawa anak harammu itu dan pergilah dari hidupku. Polo idoma giotmu!”[2]

            Aku ternganga. “Apa maksud Bapak dengan anak haram? Akukah itu?”

            “Abang lebih dekat dengan Naya. Dia juga akan memilih bersamamu, Abang. Kami tidak keberatan, Abang.”

            “Tidaaaaaak! Ambil semua barangmu dan pergi dari sini!” Bapak membentak Ibu. Nafasnya tampak naik turun tidak beraturan. Kemudian ia pergi meninggalkan kami.

            Aku sungguh merasa kaget, tidak bisa berkata-kata. Tangisku kembali pecah. Semakin kencang. Ibu juga melongos pergi meninggalkanku. Aku kini sendiri. Tanpa seorang pun yang memperhatikan.

*

            Aku menatap kedua manusia yang tengah membereskan barangnya masing-masing. Pertama aku berjalan ke arah Ibu. Rasa benciku semakin menggunung sejak aku tahu bahwa aku anak haram hasil hubungannya dengan mantan kekasihnya itu. Pasti lelaki yang kulihat di mall waktu itu. Karena lelaki itu tidak bertanggung jawab, Ibu meminta Bapak menikahinya. Dulunya Bapak merupakan bos di tempat ibu bekerja.

            Kasihan, Bapak akhirnya menerima Ibu. Dan waktu itu memang Bapak juga belum menikah. Keasyikan mencari uang membuatnya lupa akan kewajibannya berkeluarga.

            Aku menatap Ibu dengan perasaan jijik. Tanganku hendak mencekik lehernya. Dan secara tiba-tiba aku dikejutkan dengan kukuku yang telah berubah menjadi panjang. Aku menatapnya dengan penuh rasa kebencian. Lalu mulai menikam lehernya. Dia menjerit. Berteriak histeris. Meminta pertolongan. Napasnya mengap-mengap.

            Lambat laun ku dengar derap langkah kaki seseorang. Bapak. Yang berusaha melepaskan cengkramanku dari leher Ibu.

            Bapak berteriak. Menyuruhku menghentikan semuanya. Mukanya memerah. Namun sekuat mereka berusaha meleraiku, aku malah mencekik Ibu sejadi-jadinya. Mungkin sosok hitam itulah yang memberiku kekuatan hingga bisa berbuat begini.

            “Hentikan Nayaaaaaa!!!”

            Tidak kugubris ucapan Bapak. Aku semakin menjadi-jadi. Kulihat muka Ibu sudah menunjukkan kelelahan. Nafasnya terpenggal-penggal. Mungkin beberapa menit lagi dia sudah berada di alam lain.

            “Nayaaaaaaaa….” Bapak kembali berteriak semakin keras. Menarikku sekencang-kencangnya dari tubuh Ibu.

            Tiba-tiba.

            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….” Teriakan histeris menggema di ruangan itu. Sedang aku sudah terpelanting beberapa meter dari mereka. Aku ternganga melihat pemandangan yang tampak di depan mata. Ibu, dengan matanya yang memerah serta kukunya yang tiba-tiba memanjang, menancapkan kuku-kuku itu dengan sempurna di perut Bapak.

[1] Kau setan.

[2] Kalau itu maumu.

(Tulisan ini dimuat di Harian Analisa. Rabu,03 Agustus 2016)

Cerpen Analisa – Tujuh Sumpah

tujuh sumpah

Harian Analisa Medan. Minggu, 22 November 2015

TUJUH SUMPAH

Eva Riyanty Lubis

 

Ketika bersamamu, waktu terkikis begitu cepat. Apa benar kebersamaan sering melenakan? Ya, mungkin saja. Yang harus kamu tahu, bahwa seberapa besar aku percaya padamu, adalah seberapa besar kutitipkan cinta pada hatimu. Maka, jangan pernah kecewakan aku. Jangan kamu lupakan atau sia-siakan hati yang telah kuberi. Lagian kamu juga telah bersumpah dihadapanku. Kamu beri aku tujuh sumpah. Dan sumpah itu sudah melekat pada diriku. Lekat. Aku dan dia menjadi satu.

Bagiku, kamulah yang telah menghangatkan pagi. Kamu juga menyalakan hari. Bersamamu aku tak pernah takut pada apapun. Di sampingmu sepertinya semua terasa mudah dan tak ada masalah. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa kamu adalah salah satu anugerah terbesar di dalam hidupku.

“Kamu selalu pandai merangkai kata,” ujarmu jika aku mengungkapkan rasa yang ada pada diriku. Sebenarnya tak pernah ada niat dalam hatiku untuk bermetafora padamu. Entahlah. Kalimat demi kalimat tak terduga itu selalu muncul tanpa kuperintah. Spontan.

“Aku hanya mengungkapkan apa yang tengah aku rasa. Bukankah kamu juga tahu kalau aku bukanlah tipikal orang yang pandai menyembunyikan perasaan?”

“Ya, Sayang. Ya. Aku tahu,” jawabmu dengan senyuman manis yang selalu kunantikan. Belaian lembut jemarimu di wajahku membuatku merasa nyaman, terlindungi dan dicintai.

Sadarkah kamu kalau ini kali pertama aku merasakan hal seluar biasa ini? Rasa yang membuatku bersemangat melakukan apapun. Tak takut pada apapun. Satu keinginan terbesarku saat ini, bisa hidup bersamamu secepatnya.

*

            “Nur, Bapak ingin bicara denganmu,” tukas lelaki paruh baya itu ketika mendapati aku tengah asyik dengan gadget di ruang tamu. Aku memandang Bapak beberapa detik sebelum menganggukkan kepala. Dengan langkah pelan, kuikuti Bapak yang memilih untuk duduk di teras rumah. Salah satu tempat favorit beliau di rumah ini.

            “Bapak mau bilang apa?” tanyaku setelah ambil posisi duduk di samping Bapak. Hanya ada meja kecil sebagai penghalang di antara kami.

            Bapak mengembuskan rokoknya sedalam mungkin. Membiarkanku menerka-nerka seputar ucapan yang hendak beliau utarakan. Bapak adalah sosok lelaki yang tak banyak basa-basi. Berbicara seperlunya saja. Dulu aku sempat membenci sikap Bapak. Namun seiring berjalannya waktu, barulah aku mengerti bahwa Bapak memang demikian adanya.

            “Sudah sejauh apa hubunganmu dengan si Bambang, Nur?”

            Pertanyaan dengan nada pelan dari bibir Bapak tersebut berhasil membuat pandanganku menjadi fokus sepenuhnya kepada beliau. Selama ini, Bapak tidak pernah komentar seputar urusan asmaraku. Lagian, aku juga sudah dewasa. Usiaku saja sudah jalan dua enam. Kini, aku bekerja di salah satu perusahaan swasta terkemuka di kota tempat aku lahir dan dibesarkan, Padangsidimpuan—Sumatera Utara.

            Aku mulai menjalin hubungan dengan beberapa lelaki sejak duduk di bangku sekolah tingkat atas. Tidak pernah ada hubungan yang awet. Paling lama hanya dua bulan. Begitu seterusnya sebelum aku bertemu dengan Bambang.

            Bambang, wartawan muda dari kota Medan yang ditugaskan di kotaku ini. Dia lebih tua setahun dariku. Parasnya tak begitu luar biasa. Penghasilannya juga. Mungkin kalau dibandingkan denganku, gajiku lebih banyak dari pada dia. Lantas, mengapa aku bisa menitipkan hati padanya?

            Cinta terkadang tak bisa ditafsirkan dengan kata-kata. Begitulah Bambang padaku. Dia bukanlah lelaki romantis. Bahkan bisa dibilang dia mirip dengan Bapak. Tentu saja dengan tambahan pembuktian cinta yang sangat luar biasa padaku.

            Dua tahun sudah kami lalui bersama. Berawal dari perkenalan singkat di salah satu toko buku yang ada di kotaku. Saat itu aku tengah mencari buku resep makanan, sedangkan dia sibuk dengan buku motivasi. Dan ucapan “Hai” mengantarkan kami ke tahap selanjutnya.

            “Nur?”

            “Seperti yang Bapak lihat. Kita serius menjalani hubungan ini,” ucapku dengan penuh keyakinan.

            “Kamu mencintainya?”

            “Tentu saja, Pak. Kalau Nur tidak mencintainya, tidak mungkin kami bisa tetap bersama. Bapak tahu sendiri bagaimana Nur sebelumnya,” sahutku dibarengi senyuman. Sebenarnya agak canggung berbicara dengan Bapak dengan topik asmara seperti ini. Biasanya, aku hanya bercerita kepada Ibu. Pada Ibu, aku bisa menumpahkan segala rasa. Ibu juga dengan senang hati menjadi pendengar setia sekaligus pemberi nasehat nomor satu untukku.

            Ibu adalah puisi abadi yang tak akan pernah kutemukan di dalam buku. Ah, betapa kumerindukan Ibu. Memikirkannya selalu membuat hatiku pilu. Ibu, cintaku, malaikatku, memutuskan untuk pergi menghadapNya empat bulan yang lalu. Meninggalkan aku, abang—satu-satunya saudaraku yang telah menikah dan kini tinggal di Kota Batam—, dan Bapak.

            Awalnya aku gamang bagaimana seharusnya aku melanjutkan hidup tanpa Ibu. Namun, Bambang selalu ada disisiku. Memberi kekuatan dan keyakinan bahwa ini adalah jalan terbaik yang harus kuhadapi.

            “Kamu bisa melalui ini semua, Sayang.”

            “Tidak… tidak… aku tak sanggup,” ucapku dengan air mata berderai kala itu.

            “Kamu jauh lebih kuat dari apa yang kamu duga. Aku tahu kamu, Sayang. Jangan menyerah sebab itu bisa membunuh jiwamu.”

            Aku harus menata hati dan kehidupanku setelah kepergian Ibu. Kepergian mendadak tanpa ada sakit apalagi pamit. Tentu saja bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Bapak juga demikian. Dia semakin diam dalam diamnya. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di dalam satu atap. Berbicara seperlunya saja. Saling larut dalam pikiran masing-masing.

            Satu yang aku tahu pasti, Bapak mencintai Ibu teramat sangat.

            “Kalau kamu mencintainya, begitu juga dia padamu, maka bersegeralah untuk menikah.”

            “Pasti, Pak. Kita telah membicarakan itu. Selama ini kita juga tengah menabung untuk mempersiapkan segalanya.”

            “Ya. Itu bagus. Bapak tak sabar ingin melihat kamu bahagia.”

            Sungguh, begitu terharu aku mendengar ucapan Bapak.

            “Nur juga ingin Bapak bahagia. Sejujurnya Nur merasa bersalah sebab merasa menjadi orang yang paling kehilangan atas kepergian Ibu. Padahal Bapak juga merasakan hal yang sama.”

            “Semua yang bernyawa akan kembali padaNya, Nur.”

            “Tapi…”

            “Bapak ingin kamu bahagia. Sudah saatnya, Nur. Sudah saatnya.”

            “Kalau Nur bahagia, apa Bapak juga bahagia?”

            “Tentu saja,” jawab Bapak dengan senyuman yang membuat hatiku bergetar.

            Ya Tuhan… betapa bersyukurnya aku masih ada Bapak dan Bambang di sisiku. Tanpa kuduga, kristal bening itu luruh juga.

            “Maafkan Bapak tidak bisa menjadi Bapak yang baik untukmu. Bapak tidak seperti Ibu yang bisa memberimu kasih sayang penuh.”

            “Jangan berkata seperti itu, Pak,” sahutku tak suka. Bapak adalah Bapak. Begitulah beliau.

            “Nur sayang Bapak,” ujarku tulus.

            Bapak menganggukkan kepala.

            “Masuklah ke dalam Nur. Malam sudah semakin dingin. Besok pagi kamu masih harus bekerja.”

            “Baiklah, Pak. Bapak juga jangan kelamaan duduk di teras. Nanti masuk angin. Lagian bukan Nur saja yang besok harus kerja. Bapak juga,” jawabku mengingatkan.

*

            Aku dan Bambang tengah duduk berhadapan. Kami memutuskan untuk makan malam bersama. Aku memperhatikan wajah lelakiku itu dengan seksama. Bahkan melihatnya sedemikian dekat sudah membuat rasa bahagiaku membuncah.

            “Hayooo… jangan dilihatin terus akunya.”

            “Habis aku kangen,” jawabku jujur.

            “Iya, Sayang. Aku tahu. Maaf membuatmu menunggu sampai berhari-hari.”

            Kami memang tidak bertemu beberapa hari belakangan ini sebab dia harus kembali ke kota Medan. Katanya ada urusan pekerjaan.

            “Sebenarnya seminggu merupakan waktu yang cukup lama. Tapi karena sekarang kamu udah ada di depanku, jadi tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi,” ucapku singkat.

            Beberapa detik kemudian, pramusaji hadir di antara kami bersama makanan yang telah dipesan.

            “Makan yang banyak. Aku nggak suka lihat kamu makin kurus.”

            “Kan aku diet, Sayang. Kamu lupa kalau aku pengen dihari pernikahan kita, aku jadi perempuan tercantik?”

            “Tanpa diet pun kamu tetap menjadi perempuan tercantik di mataku.”

            “Sudah pandai ngegombal ya sekarang?” ledekku senang.

            “Kan belajar dari kamu,” jawab Bambang tak mau kalah.

            “Sayang, boleh aku minta sesuatu darimu?”

            “Tentu saja. Apa itu?”

            “Aku ingin kita menikah secepatnya.”

*

            7 Sumpah itu masih melekat. Di hati bahkan di dinding kamarku.

  1. Aku mencintai dan menginginkanmu, Nur.
  2. Hanya kamu.
  3. Hanya kamu.
  4. Hanya kamu.
  5. Hanya kamu.
  6. Hanya kamu.
  7. Hanya kamu selamanya.

Cinta memang sering kali dibodohi dengan kata-kata. Mana yang mesti kupercaya? Kata atau mata?

“Nur, jangan melamun terus. Yuk sarapan dengan Bapak. Bapak masak nasi goreng spesial untuk kita berdua.”

Dan ternyata hingga kini, cinta sejati hanya kutemukan dari kedua orangtuaku.

Padangsidimpuan, September 2015.

Cerpen Radar Surabaya – Aku, Dia, dan Kepingan Masa Lalu

Radar Surabaya. Minggu, 08 November 2015.

Radar Surabaya. Minggu, 08 November 2015.

AKU, DIA, DAN KEPINGAN MASA LALU

Eva Riyanty Lubis

            Berlin memberikan suhunya yang sejuk tatkala aku duduk di jendela apartemenku yang terletak di lantai tiga puluh lima. Secangkir teh hangat berada dalam genggaman. Sambil menyeruput teh, aku tetap mengedarkan pandang pada hamparan kota Berlin yang padat aktivitas.

            Tak lama kemudian ponselku berdering. Dengan cepat aku melangkah menuju ponsel itu diletakkan.             Senyum sumringah spontan bertengger di wajahku yang kata orang tergolong manis. “Hello, James. Do you miss me?” tanyaku langsung pada si penelepon dengan gaya bicaraku yang centil.

            James, pria asal Inggris yang baru kukenal tiga hari yang lalu di bar milik temanku, Rose. Tampan, parlente, dan sudah pasti mempesona.

            “Oke, I will come,” jawabku cepat sembari meletakkan kembali ponsel itu dan langsung berlari kecil menuju kamar mandi.

            Seperti hari-hari sebelumnya, aku melakukan pekerjaan yang sama. Sebuah pekerjaan yang bertujuan untuk memuaskan pria-pria bangsawan atau paling tidak mereka yang memiliki uang banyak dalam membayar pelayanan yang aku berikan.

            Aku mematut diri di depan cermin. Bayangan wajah dan penampilanku yang menurutku mendekati sempurna membuatku sedikit berbangga hati. Rambut gelombangku yang sepinggang kubiarkan tergerai indah. Aku mengenakan mini dress tak berlengan berwarna hijau dengan dipadukan sepatu boots hitam. Tas kecil mungil bermutiara kubiarkan bertengger di bahuku. Kemudian aku menyapukan lipstick berwarna bening di bibir tipisku. Perfect!

            Sebelum melangkahkan kaki dari apartemen, aku tak lupa membungkus tubuhku yang bak gitar Spayol dengan cardigan berwarna senada.

            Aku memilih taxi untuk menemui James di salah satu hotel ternama di Berlin. Waktu yang di perlukan untuk tiba di hotel itu kurang lebih setengah jam. Dan seperti biasa, aku tetap merasa deg degan untuk melakukan pekerjaanku.

            Lalu secara tiba-tiba, kepingan masa lalu penuhi pikiranku.

            “Ibu kenapa muntah terus menerus? Ibu sakit?” tanyaku pada ibu ketika keluar dari kamar mandi. Dia menatapku tajam kemudian berjalan tanpa mempedulikan pertanyaanku. Sungguh, aku benar-benar dibuat penasaran akan tingkah ibu. Satu-satunya orangtua yang aku miliki.

            Suatu hari, Tante Jannah, teman akrab ibu datang ke rumah untuk menjemput ibu. Namun saat itu ibu sedang pergi berbelanja ke pasar.

            “Jadi Ibumu masih terus-terusan muntah? Halah, sudah kubilang berulang kali untuk memakai pengaman. Tapi tetap saja dia membandel,” desis perempuan berpenampilan menor itu acuh tak acuh.

            Mataku melotot tajam. Tubuhku pun seakan menegang, kaku. “Apa maksud Tante? Ibuku hamil? Tidak mungkin! Ayah sudah meninggal sejak aku kecil!” Ucapku setengah berteriak.

            Tante Jannah mendengus kesal sambil menghidupkan rokok yang sedari tadi ada di dalam sakunya.

            “Kau bodoh apa pura-pura sih, Dewi? Sudah SMA tapi pikirinannya lelet. Atau kau juga belum tahu pekerjaan sampingan Ibumu?” tanyanya yang membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

            “Ibu seorang pembantu rumah tangga!” ucapku tegas. Tante Jannah malah tertawa ngakak. Tawa yang membuat bulu kudukku berdiri.

            “Kami ini pemuas nafsu, Dewi. Hah, bodohnya kau tidak menyadari itu!” jawab perempuan itu sembari tersenyum sinis ke arahku.

            Aku tumbang. Lalu semua terasa gelap.

*

            “Aku benci, Ibu. Tidak seharusnya Ibu berbuat jorok seperti ini. Memalukan!” Aku memaki ibu habis-habisan tatkala ibu pulang kerja jam sepuluh malam. Ibuku yang pendiam itu mendadak memelototkan matanya padaku. Mungkin ibu kaget dengan ucapanku itu. Sebenarnya sejak awal aku sudah curiga dengan pekerjaan ibu. Apalagi ibu kerap pulang malam. Padahal dulunya jam enam sore ibu sudah tiba di rumah.

            “Kau pikir hanya dengan menjadi pembantu aku bisa membiayai sekolahmu? Kau selalu merengek untuk di sekolahkan di tempat yang mahal. Aku tahu kau pintar. Tapi keadaan ekonomi kita tidak mendukung. Makanya aku melakukan ini. Salah, Dewi?” Air mata ibu tiba-tiba luluh.

            Hatiku terasa sangat sakit. Namun egoku tetap ingin menang, “Tapi ini menjijikkan Ibu! Kalau sampai teman-temanku tahu, aku bisa dicap sebagai anak pelacur. Aku benci pada Ibu.” Aku membentaknya keras. Kulihat air mata ibu semakin lama mengucur dengan deras.        Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk merantau. Aku sudah tidak kuat lagi. Sebab semua teman-temanku telah mengetahui pekerjaan ibu dan mereka terus menerus mencemo‘ohku.

            Aku berangkat menuju Jakarta. Awalnya aku terlunta-lunta di sana hingga bertemu dengan Pak Reinald, seorang germo kelas kakap yang mengenalkanku pada George. Dia pengusaha tua kaya raya asal Prancis. Awalnya aku menolak hal itu, namun karena aku tidak memiliki uang dan tak satupun perusahaan menerima lamaran kerjaku, mau tak mau aku masuk dalam lubang penuh dosa. Sebuah kehidupan yang awalnya kupandang dengan rasa jijik.

            George melimpahiku materi. Bahkan aku bisa melanjutkkan pendidikan sampai S2 di Jerman. Setelah dia meninggal dan aku masih butuh uang banyak, aku pun mencari pria yang bisa menopang hidupku. Bukannya aku tidak mampu untuk bekerja. Tapi rasanya mengumpulkan duit dengan cara halal itu melelahkan. Butuh waktu lama. Jadi kalau ada jalan pintas, kenapa tidak? Apalagi aku juga menikmati pekerjaan ini.

            Pernah suatu kali ibu menelepon dan menyuruhku pulang.

            “Pulanglah, Nak. Jangan lakukan pekerjaan itu lagi.”

            Aku tidak tahu siapa yang mengatakan kepada ibu tentang pekerjaanku. Atau mungkin saja itu nalurinya sebagai seorang ibu?

            “Nggak bisa, Bu. Aku masih butuh uang yang banyak. Kehidupan di sini keras, Bu,” jawabku tegas.

            “Bukan begitu caranya, Nak. Kembalilah ke jalan yang benar,” ucapnya lembut.

            Aku tertawa pelan, “Loh, inikan Ibu yang ngajarin? Ibu lupa?”

            Aku belum bisa menerima kehadiran Ibu seutuhnya di dalam hidupku. Meski ibu telah kembali ke jalan yang benar, aku tidak peduli. Meski ibu tak pernah menerima uang hasil pekerjaanku, aku juga tidak peduli. Ini hidupku dan aku ingin semua berjalan sesuai dengan kehendakku.

*

            James berdiri di hadapanku dengan gagahnya. Dia memandangku lekat. Lama kami saling berpandangan hingga akhirnya dia mulai menyentuh daguku. Sebuah kecupan manis dia daratkan di bibirku.

            James, aromanya yang harum membuatku terbius.     Dia benar-benar menawan dan membuatku segera ingin melakukan apa yang seharusnya kulakukan.

“Aku tidak bisa, Dewi,” ucapnya tiba-tiba. Tubuhnya bergetar hebat. Dia terduduk di sudut ranjang hotel yang megah itu sambil menopang wajahnya yang rupawan dengan kedua tangan.

            Aku terkejut bukan main. “Apa yang kamu katakan?”

            “Aku tidak bisa melakukannya, Dewi,” ulangnya serak.

            “Kenapa, James? Apa ada yang salah denganku? Pakaianku kurang bagus?” tanyaku hati-hati sembari menggenggam jemarinya.

            James mulai mengalihkan pandangannya dariku. Aku tahu kalau matanya menyiratkan kesedihan mendalam. Tetapi aku masih belum mengerti dengan tingkahnya ini.

            “James?”

            “Pulanglah. Aku akan kembali memanggilmu kalau aku benar-benar sudah siap dan ingin melakukannya denganmu. Untuk bayaran, akan aku transfer secepatnya.” Kemudian James meninggalkanku yang masih tak habis pikir dengan tingkahnya.

            Sakit tiba-tiba menyerang ulu hatiku. Beginikah rasanya sebuah penolakan?

*

            Aku mencoba melupakan James. Satu-satunya lelaki yang berhasil membuatku merasa terhina. Namun tanpa diduga, dia kembali masuk ke dalam kehidupanku.

            “Datanglah ke tempatku. Aku ingin merayakan ulang tahunku denganmu,” ucapnya di seberang sana.

            “Aku tidak bisa,” sahutku mantap. Tak ingin dia melakukan hal yang seperti dulu padaku.

            “Please, Dewi. Datanglah. Aku menginginkanmu, Sayang.”

*

            Malam itu, seperti yang James katakan merupakan malam pergantian usia baginya. Dia sudah tidak seperti James yang membuat hatiku sakit. Dia berbeda. Secara bersama-sama kami mendapatkan kenikmatakan. Tentu saja aku merasa bahagia.

            “Aku jatuh cinta padamu, Dewi,” bisiknya di tengah belaian-belaian liar yang dia lakukan pada tubuhku.

            “Terima kasih telah hadir dalam hidupku,” tambahnya lagi.

            “Jamess,” aku memandangnya dengan napas terengah-engah.

            “Tutuplah matamu, Sayang. Aku akan kembali membuatmu mendapatkan kenikmatan luar biasa,” bisiknya lagi dengan penuh kelembutan.

            Lalu dengan segera kulakukan permintaannya itu.

            Hanya beberapa detik, namun dia berhasil melakukan tugasnya dengan sempurna.

            “George adalah ayahku. Dan kamu perempuan terbejat yang telah merebut dia dari ibuku. Pergilah ke Neraka, Sayang.”

            Sebuah kalimat lembut yang berhasil menutup lembaran kisah hidupku di dunia.

Cerpen – Cinta Salah Fokus

Harian Analisa Medan. Minggu, 18 Okt 2015

Harian Analisa Medan. Minggu, 18 Okt 2015

“Yank, besok aku absen jemput kamu ya…” Rama memelas kepada Ayu, cewek yang baru dipacarinya lima hari terakhir ini.

            Ayu memandang Rama dengan tatapan matanya yang melotot tajam. Waktu itu mereka tengah berada di depan kosan Ayu.

            “Besok aku ada tugas kelompok, Yank. Jadi harus ke rumahnya si Vivie.” Tambah Rama karena ceweknya itu belum juga memberikan reaksi. Jantung Rama sudah kebat-kebit karena Ayu yang dikiranya kalem dan ceria, setelah dipacari sikapnya berubah menjadi pemarah, pencemburu, dan keras kepala.

            “Yank, ngomong dong. Aku jadi takut ngeliat kamu kaya gitu,” ujar Rama dengan senyum terpaksa.

            “Oke. Jadi kamu lebih pentingin tugas kelompok kamu itu dibanding aku? Aku kan udah bilang dari kemarin kalau besok aku ada jadwal belanja. Kamu juga udah janji bakalan temanin aku. Kamu ini gimana sih?” jelas Ayu santai namun tegas. Benar-benar nyakitin hati Rama.

            “Tapi, Yank…” belum sempat Rama menyelesaikan kalimatnya, Ayu langsung menyela.

            “Kalau gitu kita putus. Aku nggak suka sama cowok yang nggak bisa nepatin janjinya!” tambah Ayu yang kemudian berjalan cepat ke dalam kosannya. Membanting pintu tepat di hadapan Rama. Rama hanya bisa mengelus dadanya sembari istigfar beberapa kali.

*

            Rama galau bin uring-uringan. Sandi, kakaknya Rama heran dengan tingkah laku adiknya yang tampak kacau balau itu. Biasanya Rama bersikap santai. Ada atau tidak ada masalah. Ini malah keningnya sampai berlipat tujuh. Kadang udah lompat-lompat di atas kasur. Eh, pas tengah malam, Sandi juga mergoki adeknya itu tengah guling-guling tidak jelas di ruang tamu.

            “Hei, kamu ini kenapa sih? Kelakuanmu benar-benar merusak pandangan!” tukas Sandi sambil berkacak pinggang.

            Rama menunjukkan wajah meweknya. Sandi sampai sakit perut melihatnya. “Untung Mama dan Papa nggak ada di rumah. Kalau mereka di sini, pasti kamu bakalan di bawa ke rumah sakit jiwa!”

            Rama tidak perduli dengan omongan kakaknya. Yang ada dia malah menangis bak anak kecil.

            “Hei, kamu itu cowok. Kok pakai nangis segala sih? Kamu kenapa?” tanya Sandi frustrasi. Meski mereka suka berantem, sebenarnya Sandi sayang pada Rama, adik satu-satunya itu.

            “Kamu nggak bakalan ngerti!” ujar Rama sok tahu.

            “Makanya ngomong! Jelas aku nggak ngerti kalau kamunya cuma bisa mewek!” goda Sandi penuh keisengan.

            “Aku… aku kesal sama Ayu!” Pekik Rama akhirnya. Tidak bisa menahan rasa sakit yang tengah dia rasakan.

            Sandi melongo mendengar ucapan adiknya. “Ayu? Ayu siapa sih?”

            “Pacarku lah,” sahut Rama mendengus kesal.

            “Loh, kamu udah pacaran? Sama Ayu? Ayu yang mana? Bukannya kamu lagi suka sama si Zakiyah?” Sandi memberikan pertanyaannya secara bertubi-tubi.

            “Itu dia masalahnya.” Rama berdiri dari duduknya sembari berjalan mondar-mandir di depan Sandi.

            Sandi masih mengerutkan kening. Menunggu penjelasan dari sang adik.

            “Kamu kan udah tahu kalau dari dulu aku suka banget sama Zakiyah. Tapi Zakiyah itu nggak pernah nganggap aku ada. Sama sekali tidak ada respon. Karena itu aku dapat ide buat pacarin Ayu, sahabatnya yang anak kos itu. Kali aja dengan begitu dia cemburu.”

            Sandi membulatkan mulutnya. “Terus? Sekarang kamu malah jatuh cinta sama si Ayu?”

            “Bukaaaaan!” teriak Rama sembari menjambaki rambutnya yang tidak bersalah.

“Si Ayu ini yang bermasalah. Sejak pacaran sama dia, dia itu ngekang aku banget. Bayangin, aku dijadiin supir sama dia. Kapan dia butuh aku, aku harus langsung sudah ada di depan dia. Sakit banget tau nggak sih! Aku nggak boleh kesana-kemari. Sekalipun ngerjain tugas kelompok. Yang ada dia malah ngancem putus dari aku,” jelas Rama dengan mimik menahan kesal dan amarah.

            Sandi terkikik hebat.

            “Ada yang lucu?” tanya Rama tersinggung.

            “Ya lucu dong. Kamu juga ngapain pacaran sama si Ayu? Cari masalah sendiri. Kalau nggak suka sama dia, lebih baik ngomong. Minta maaf dan ceritakan kalau kamu sebenarnya suka sama Zakiyah.”

            “Waksss…. Bisa-bisa aku mati digorok!” Rama sudah ketakuan sendiri.

            “Derita lo…” tukas Sandi jahil yang kemudian meninggalkan Rama dan berjalan menuju kamarnya.

*

            Rama mengajak Ayu ngomong empat mata. Rama sudah meyakinkan dalam hati kalau dia ingin mengakhiri hubungannya dengan gadis berambut pendek itu.

            “Aku mau ngomong serius sama kamu,” sahut Rama memberanikan diri sembari memandang Ayu lekat.

            “Mau bilang kalau kamu tetap tidak bisa nemani aku buat belanja? Oke, fine! Kita sudah putuskan untuk pisah kalau kamu tetap tidak mau nemani aku kan?” jawab Ayu lancar.

            Rama menelan ludahnya sendiri. Panas dingin menguasi tubuhnya jikalau sudah berhadapan dengan Ayu yang sangar begini. “Ayu, aku mau jujur sama kamu. Ini bukan soal tidak mau nemani kamu belanja,” Kata Rama pelan dan hati-hati.

            “Mau bilang kalau kamu sebenarnya suka sama Zakiyah terus kamu cuma buat aku pelampiasan agar Zakiyah cemburu? Aku tahu kok. Siapa yang tidak tahu akan hal itu? Semua penghuni sekolah juga tahu kalau kamu suka sama sahabatku itu.”

            Rama melongo. Untung saja air liurnya tidak sampai tumpah.

            “Sakit hati kan pacaran sama aku? Rasain! Itu belum seberapa. Makanya jangan macam-macam sama aku,” ucap Ayu sinis kemudian berjalan penuh angkuh meninggalkan Rama yang tiba-tiba sudah meluruhkan air matanya. Haduh, jadi cowok kok cengeng sih?

Medan, September 2014.

Cerpen Harian Analisa – Aku, Kau, dan Pria Berlesung Pipit

Harian Analisa Medan. Rubrik Rabu. Rabu, 07 Oktober 2015.

Harian Analisa Medan. Rubrik Rabu. Rabu, 07 Oktober 2015.

Aku tahu kalau keluargamu sedang mengalami musibah yang sangat berat. Kau masih berusia dua puluh tahun dan harus menanggung semuanya. Seorang papa yang merupakan salah satu menteri Indonesia harus dipecat dan dipenjara karena ketahuan korupsi. Dan mamamu, melakukan perselingkuhan dengan bawahan papamu. Lalu mamamu pergi entah kemana hingga kau tak bisa lagi bersua dengan wanita yang melahirkanmu itu. Sungguh ironis. Hanya tersisa kau dan kakakmu. Namun kakakmu malah memilih untuk mengakhiri hidupnya melalui narkoba dengan dosis tinggi.

            Kau yang harusnya merasakan kehidupan yang indah, sesuai dengan usiamu, mendadak kehilangan arah. Wartawa usil selalu menjahilimu. Berusaha mendapatkan informasi tentang keluargamu yang awalnya terpandang menjadi sebaliknya. Kau menangis setiap waktu yang kau bisa. Kuliahmu, aktivitasmu, semuanya menghilang secara perlahan. Belum lagi saudara dan teman-temanmu. Mereka memandangmu dengan penuh kenistaan. Seolah kau manusia paling menjijikkan di atas dunia ini. Padahal dulunya mereka juga ikut menikmati apa yang kalian punya.

            Malam itu kau menyalakan komputer. Aku tak tahu apa yang sedang kau cari. Namun aku menemukan sebuah senyuman tipis yang bertengger di bibirmu setelah menemukan apa yang kau cari.

            Lalu dengan gerakan cepat, kau mengambil beberapa potong pakaianmu dan beberapa benda yang menurutmu berharga. Memasukkannya dengan asal ke dalam koper. Hingga keesokan paginya, aku tersadar kalau kita sudah berada di dalam pesawat. Penampilanmu yang biasanya sederhana, berubah menjadi glamour. Sebuah wig dengan rambut lurus panjang menutupi rambut aslimu yang hanya sebahu. Lalu kaca mata milik mamamu yang bermerek itu pun bertengger manis dihidungmu yang bangir. Belum lagi make up polos yang hiasi wajah cantikmu. Kau berubah! Aku sampai pangling. Tunggu! Apa kau sedang menyamar, Emily? Kau takut kalau kita diikuti wartawan makanya berubah seperti ini?

*

            Kita tiba di salah satu kota besar di Indonesia. Medan. Aha, aku tahu kemana tujuan kita sekarang! Padangsidimpuan. Salah satu kota kecil di Sumatera Utara. Benar bukan? Kau pasti ingin mengunjungi nenek dari pihak mamamu. Aku memang belum pernah bertemu dengan beliau. Tapi aku tahu kalau mamamu tidak menganggap nenekmu sebagai ibunya. Sebab nenekmu tidak memiliki harta seperti kalian. Maksudku sebelum kasus itu diketahui publik. Benar, kan? Ah, Mamamu memang sudah gila! Jangan marah, Emily. Aku sudah mengamati sikap dan tingkah lakunya tiga tahun terakhir ini. Sejak dia jatuh cinta pada lelaki beristri itu, dia benar-benar semakin gila.

            Beliau tidak mengizinkan kau dan almarhum kakakmu untuk bersua dengan Nenek. Mamamu memutuskan tali silaturrahmi sejak kau duduk di bangku SD kelas enam. Itu terjadi karena keuangan kalian mulai menanjak. Benar, kan Emily? Aku mendengar itu kala kau protes pada Mamamu sebab kau begitu rindu dan ingin jumpa dengan Nenek.

            Dari Medan, kita langsung naik travel ke Padangsidimpuan. Ah, aku tidak bisa memprediksi wajahmu saat ini. Antara tegang, senang, takut, was-was, semua bercampur menjadi satu. Aku hanya bisa berharap kalau semuanya berjalan sebaik mungkin. Aku sudah lelah melihatmu bersedih. Kau pantas untuk mendapatkan kebahagiaan, Emily.

            Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih sebelas jam. Benar-benar melelahkan. Ketika ucapan selamat datang di Kota Padangsidimpuan sudah kelihatan, kudapati kalau kau tengah tersenyum manis. Lalu di terminal, kau memanggil sebuah becak. Di Jakarta ini disebut bentor. Becak bermotor. Kau menunjukkan secarik kertas kepada Abang tukang becak. Lalu pria itu menganggukkan kepala.

            Hatimu terasa ngilu ketika tiba di depan sebuah rumah kecil yang terbuat dari papan. Sangat jauh dari kata sederhana. Tak pernah kau duga sebelumnya kalau inilah rumah nenekmu. Wanita yang melahirkan mamamu. Tinggal seorang diri karena satu-satunya putri yang dia miliki memutuskan untuk tidak menganggap dia sebagai ibunya. Sedang suaminya telah meninggal puluhan tahun yang lalu.

            “Siapa?” tanya wanita tua itu sembari memandangmu dengan pandangan penuh tanya.

            “Nenek, ini Emily,” ucapmu yang bersamaan dengan itu air matamu pun tumpah. Kau memeluk nenek dengan erat. Dan nenekmu turut meneteskan air matanya. Satu persatu. Mengelus punggungmu dengan penuh kelembutan.

            “Emily, cucuku. Kau sudah besar?” tanya Nenek seraya memandangimu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

            Kau menganggukkan kepala berkali-kali. Sedang nenek menciumi keningmu dengan penuh kerinduan.

            Lalu kau menceritakan perihal kedatanganmu kepada Nenek.

            “Nenek sudah tahu,” ucap Nenek dengan nada suara yang benar-benar menunjukkan kalau beliau tidak apa-apa karena masalah itu.

            “Apa Nenek masih benci sama Mama? Masih membenci kami sekeluarga? Kami udah durhaka pada Nenek,” lirih Emily.

            “Cucuku, Nenek tidak pernah membenci kalian. Pun ibumu. Sebab Nenek yakin suatu saat hal itu akan berubah. Percaya pada kuasa Sang Pencipta, Emily.”

            Lagi, Kau menganggukkan kepala, “Lalu, bagaimana menurut Nenek kehidupan kami sekarang?”

            “Hidup ini terus berputar, Emily. Kadang di atas, kadang di bawah. Itu sudah ditakdirkan. Hukum sebab akibat berlaku, Emily. Jadi Papa dan Mamamu sedang menuai apa yang dulunya mereka kerjakan.”

*

            Aku bisa merasakan kebahagianmu hidup dengan nenek. Sehari-harinya Nenek bekerja sebagai penjual gorengan. Gorengan itu dijajakan kepada masyarakat dari gang ke gang. Kau pun membantu Nenek berjualan. Kau yang sekarang menjalani kehidupan dengan penuh suka cita.

            Sesekali kau mendengar cibiran dari para tetangga. Ya, mereka tahu kehidupanmu sebab televisi masih terus membahas keluarga kalian. Namun Nenek menyuruhmu untuk tidak ambil pusing.

            Kau semakin bersemangat menjalani hari-harimu. Tidak lagi kutemukan wajah muram itu. Namun belum sampai tiga bulan kau bersama dengan Nenek, Allah malah menjemput Nenek. Menjemput salah satu kebahagiaanmu. Kau pun kembali pada kesedihan. Mengurung diri beberapa hari. Membuatku terhenyak dengan hidupmu. Kau sedih, akupun sedih. Terlalu banyak cobaan yang harus kau jalani, Emily.

*

            Pagi itu kau duduk di depan rumah. Bersandar pada dinding dan melihat orang yang lalu lalang. Ah, mereka tak sedikitpun peduli padamu. Mungkin juga dalam hati mereka merutuki kehidupanmu. Dasar!

            “Kamu Emily? Cucunya Nek Syamsi?” tanya seseorang mengagetkanmu.

            Ya ampun, seorang pria dengan lesung pipit di wajahnya. Sangat menawan, Emily! Kalau aku jadi kau, aku pasti sudah jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya.

            “Ya. Kenapa? Ada yang salah?” tanyamu ketus.

            Pria berlesung pipit itu tersenyum. “Tidak. Aku Keenan. Aku baru lulus kuliah dari Medan dan sekarang kembali ke kampung halaman. Aku akan mengabdi di kota tempat aku dilahirkan ini,” ucap pria itu dengan mata berbinar.

            Kau menganggukkan kepala perlahan-lahan. “Terus? Kau kenal aku kan? Kau pasti sudah tahu tentang keluargaku. Kalau gitu, ngapain dekat-dekat sama aku?” Kau kembali bertanya dengan nada yang sama.

            “Aku ingin menjadi temanmu. Boleh, Emily? Aku nggak peduli masa lalumu sebab aku tahu semua orang pasti punya masa lalu yang buruk. Namun bagaimana kita mampu untuk bangkit, itu yang paling perlu. Bukankah kita hidup untuk masa depan?” Jelas pria itu dengan senyum hangatnya. Ah, lesung pipi itu membuatku terlena, Emily. Kau harusnya memberi dia kesempatan untuk berteman denganmu!

            “Cih! Kamu hanya pandai berkata-kata!” ucapmu lagi dengan wajah penuh kesinisan itu.

*

            Ah Emily, kau tidak bisa memvonis seseorang seperti itu. Lihat saja, pria berlesung pipit itu tidak pernah lelah meminta kesempatan agar bisa menjadi temanmu. Harusnya kau bahagia! Aku bisa melihat ketulusan di matanya. Dan aku memang yakin kalau waktu akan membuatmu kembali ke Emily yang berhati lemah lembut.

*

            Tiga bulan kemudian, pria berlesung pipit itu berhasil membawamu ke puncak Simarsayang. Tempat yang bisa membuatmu melihat kota Padangsidimpuan secara utuh dengan suhu udaranya yang bagus untuk tubuh. Aih, kau sangat bahagia, Emily! Aku tahu kalau pria berlesung pipit itu berhasil membuat getar-getar cinta di dalam hatimu. Benar begitu?

            “Aku bukan lelaki yang sempurna. Tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Namun aku menyayangimu, Emily. Aku ingin selalu bersamamu,” aku pria berlesung pipit itu tiba-tiba.

            Kau kaget. Senang dan bingung bercampur menjadi satu hingga kau tidak bisa membuka mulut untuk menjawab pernyataan dari pria di hadapanmu itu.

            “Emily, kalungmu putus?” tanya Keenan tiba-tiba ketika matanya tanpa sengaja melihat lehermu.

            Emily meraba lehernya dan mendapati kalung yang sejak lima tahun terakhir ini dia pakai tiba-tiba sudah tergeletak di atas tanah tak jauh dari tempatnya berdiri.

            Emily memandang kalung itu dengan perasaan sendu. “Kalung ini hadiah dari Mama dan Papa kala aku berusia lima belas tahun. Aku tidak pernah melepasnya sekalipun. Namun sekarang, dia malah lepas sendiri,” ujar Emily sedih sembari menggenggam kalungnya yang patah.

            “Setiap barang pasti ada masanya. Namun kenangan tidak akan pernah dilupakan dari benak kita. Lagian kita bisa memperbaikinya, Emily,” Keenan menenangkan Emily.

            Aku tidak bisa lagi mendengar pembicaraan mereka. Yang aku tahu, aku sangat bahagia sekarang. Sebab sudah ada orang yang tulus menyayangi Emily dan membuat perempuan itu kembali menorehkan senyum di wajah cantiknya.