Cernak Radar Bojonegoro – Jam Tangan Impian

Jam Tangan Impian

Dapat info dimuat dari Mbak Srikandi Darma Aloena

 Radar Bojonegoro. Minggu, 08 November 2015.

JAM TANGAN IMPIAN

Eva Riyanty Lubis

 

“Ihsan mau jam tangan, Mak,” seru Ihsan memelas kepada Mak Minta, ibunya.

“Kita nggak punya uang, Sayang. Kamu yang sabar ya. Nanti kalau Mak ada uang, InsyaAllah Mak beli buat Ihsan,” jawab Mak Minta pelan sembari mengelus rambut anak semata wayangnya itu. Ada gurat kesedihan tampak di wajah paruh bayanya.

Sejak Pak Herman meninggal dunia setahun yang lalu, Mak Minta harus berusaha mati-matian untuk melanjutkan kehidupan mereka berdua. Pekerjaan apapun ia lakukan asalkan halal. Baik itu jadi pencuci baju, menjajakan dagangan tetangga, bahkan sesekali ia harus mencari sampah yang masih bisa dijual.

“Ihsan bantu Mak kerja aja ya,” sahut Ihsan yang membuat Mak Minta kaget.

“Nggak, Ihsan tetap harus sekolah. Harus jadi sarjana. Tamat SD aja belum, gimana mau bantu Mak?” tanya Mak Minta sambil tersenyum manis pada anaknya itu.

“Ihsan udah pintar, Mak. Kan selalu juara di kelas,” jawab Ihsan tak mau kalah.

Mak Minta mencubit pipi anaknya gemas. “Kamu kalau Mak bilangin ngejawab terus ya.”

“Mak….” Ihsan menggembungkan pipinya.

“Udah buruan sana ngerjain tugas.”

*

“Ya Allah…. Ihsan pengen banget punya jam tangan. Cuma itu ya Allah. Ihsan nggak minta yang mahal seperti teman-teman Ihsan. Mereka bahkan punya segalanya. Apa yang mereka minta selalu dikasih. Terus kenapa Ihsan yang hanya minta jam tangan nggak dikasih ya Allah? Allah nggak kasihan lihat Ihsan dan Mak? Jam dinding di rumah aja udah dari setahun yang lalu rusak,” Ihsan curhat kepada Allah setelah selesai menunaikan sholat Magrib.

Tanpa Ihsan tahu, Mak sebenarnya mendengar doa Ihsan pada Yang Maha Kuasa. Ada linangan air mata di wajah beliau. Antara sedih dan senang. Sedih karena tidak bisa memberikan apa yang anaknya mau. Senang karena memiliki putra yang tidak pernah rewel seperti kebanyakan anak-anak sebaya Ihsan di luar sana. Lalu Mak Minta pun berdoa dalam hati agar mendapatkan rezki lebih. Sungguh, beliau ingin sekali memberikan jam tangan, sesuai pinta putranya itu.

*

            Saat ini Ihsan duduk di kelas empat SD. Dan pada semester pertama tahun ajaran ini, dia kembali berhasil mendapat peringkat pertama. Mak senang sekali. Air mata haru menetes di wajah beliau. Tak lupa mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

            Ihsan mendapat piala, piagam, dan buku dari sekolah. Memang setiap juara kelas selalu mendapat hadiah seperti itu. Setelah acara penyerahan raport selesai, Ihsan dan Mak Minta di suruh Bu Ratna, sang wali kelas untuk menghadap ke ruangan Ibu Kepala Sekolah. Ihsan dan Mak Minta heran. Namun mereka tetap melakukan apa yang dikatakan oleh wali kelas Ihsan tersebut.

            “Selamat ya Ihsan. Kamu tetap berhasil mempertahankan juaramu sejak kelas satu,” ucap Bu Kepsek pada Ihsan.

            “Alhamdulillah, Ibu. Makasih sekali,” balas Ihsan sopan.

            “Bu, beruntung sekali mempunyai putra seperti Ihsan. Sudah pintar, baik, ramah, sopan santun pula,” ujar Bu Kepsek kepada Mak Minta.

            “Ini anugrah luar biasa bagi saya, Bu. Ihsan satu-satunya yang saya miliki. Alhamdulillah Ihsan membuat hidup saya jauh lebih berharga,” jawab Mak Minta penuh kebanggaan.

            “Ihsan harus berjuang menjadi anak yang membanggakan buat Maknya ya,” nasehat Bu Kepsek.

            “InsyaAllah, Ibu.” Jawab Ihsan sungguh-sungguh.

            “Saya menyuruh Ihsan dan Ibu ke ruangan saya karena saya hendak memberikan sesuatu buat Ihsan,” Bu Kepsek pun mengambil kantongan hitam dari salah satu laci mejanya.

            Ihsan dan Mak penasaran. Dan rasa penasaran mereka berubah menjadi tangis bahagia setelah Bu Kepsek menyodorkan plastik hitam itu.

            “Bu, saya sampai tidak tahu harus bilang apa. Sekolah ini sudah sangat baik sekali kepada keluarga kami,” tukas Mak dengan linangan air mata.

            “Ibu dan Ihsan memang pantas mendapatkan ini. Diterima ya, Bu. Ini dari saya pribadi. Saya senang mempunyai murid seperti Ihsan makanya saya memberikan sedikit hadiah ini kepada Mak dan Ihsan.”

            Mak dan Ihsan berpandangan. Pancaran kebahagiaan masih bersarang di sana.

*

            Ternyata isi kantongan itu adalah satu stel baju sekolah merah putih, satu stel baju bermain, sepasang sepatu sekolah, dan sebuah jam tangan keren berwarna hitam yang modelnya sedang ngetrend dikalangan anak sekolah saat sekarang ini.

            Ihsan dan Mak bahagia tiada terkira dan terus-menerus mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

“Mak, jam tangan impian Ihsan,” ujar Ihsan senang sembari menatap jam yang sudah menempel indah di pergelangan tangan kirinya.

“Allah sayang sama Ihsan. Makanya Ihsan dikasih hadiah. Yang penting Ihsan harus selalu bersabar dan yakin semua akan indah pada waktuNya,” jelas Mak pada putranya.

Ihsan menganggukkan kepala dibarengi dengan senyuman lebar miliknya.

Cernak – Bersahabat dengan Nouval (Radar Bojonegoro)

bersahabat dengan nouval

(Radar Bojonegoro. Minggu, 08 Februari 2015)
Eva Riyanty Lubis

“Jadi nama kamu siapa, Nak?” tanya Bu Muslimah dengan intonasinya yang lemah lembut.
“Nouval Ricardo, Bu,” sahut anak berusia sepuluh tahun itu tegas.
Nouval Ricardo merupakan putra satu-satunya dari Bapak Abraham dan Ibu Mayang. Awalnya mereka tinggal di Jakarta. Namun karena usaha mereka di Jakarta mengalami kebangkrutan, dengan terpaksa keluaraga itu memutuskan untuk pulang ke kampung halaman yakni kota Medan.
“Oke Nouval, silahkan duduk di bangku yang kosong,” suruh Bu Muslimah seraya menunjukkan bangku kosong kepadanya.
Nouval menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Ibu.”
“Noval, kenalin. Aku Jamilah,” ucap gadis berbadan kecil di samping tempat duduk Nouval seraya menyodorkan jemarinya.
“Nouval,” jawab Nouval menerima salaman dari Jamilah.
“Senang punya teman baru,” Jamilah tersenyum sangat manis.
Nouval mengangguk kecil. Sebenenarnya dia tidak suka berbasa-basi. Bukan berarti dia tidak suka berteman. Dia hanya sedikit lebih tertutup dibanding siswa lain.
Ketika pelajaran berlangsung dan Ibu Muslimah memberikan beberapa soal, dengan mudahnya Nouval menjawab semua soal itu. Seisi kelas berdecak kagum. Sementara Nouval sendiri hanya bersikap biasa-biasa saja.
Gimana dia tidak bisa menjawab semua soal itu? Di Jakarta pelajaran itu sudah dia pelajari sebelumnya.
Dalam sebulan nama Nouval menjadi terkenal di sekolah barunya. Kecerdasannya membuat banyak siswa iri. Nilai ulangannya juga yang paling tinggi.
Berta tidak suka pada Nouval. Katanya Nouval sombong dan pelit. Tidak mau memberi jawaban kala ujian berlangsung. Tidak seperti dia. Maklum, Berta itu awalnya juara satu di kelas dan merupakan anak dari kepala sekolah. Jadi dia belum bisa terima ada siswa baru yang kepintarannya melebihi dia. Sebisa mungkin Berta menjelek-jelekkan nama Nouval agar teman-teman tidak suka padanya.
*
Suatu hari Nouval dan teman-teman yang lain hendak berangkat menuju rumah Budi. Dia, Jamilah, Ina, Tono dan Berta berkumpul di sekolah. Mereka hendak melakukan kerja kelompok.
“Nouval, kamu kok bisa pindah ke Medan sih? Bukannya di Jakarta lebih asyik?” tanya Tono dengan raut penasaran.
“Keluarga Nouval kan jatuh miskin,” ucap Berta tanpa rasa bersalah.
Nouval hanya diam. Tidak menggubris ucapan teman-temannya itu.
“Kalian jangan gitu dong sama Nouval. Nggak boleh berpikiran negatif,” Jamilah melerai.
“Ah, emang beneran kok. Udah sok pintar, sombong lagi.” Berta nggak mau kalah. Tapi Nouval tetap tidak membalas ucapan temannya itu. Berta memang sering mengejek Nouval. Namun tidak sekalipun Nouval melawan ucapan temannya itu.
Beberapa menit kemudian mereka berlima dicegat oleh tiga cowok berseragam SMA.
“Hei anak kecil. Bagiin duit kalian!” bentak cowok bertubuh paling kurus.
“Jangan melotot! Siniin duit kalian!” Ulang yang disampingnya kepada Nouval dan teman-teman.
Nouval sendiri masih bersikap biasa. Sedang teman-temannya yang lain ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Nouval.
“Mau melawan ya anak kecil?” tanya yang satunya lagi dengan mimik muka menyeramkan. Dia hendak meraih Berta. Namun dengan sigap Nouval melayangkan tinjuannya.
Brukkk….
Satu cowok ambruk. Teman-teman Nouval berteriak. Beberapa detik kemudian warga bermunculan dan mengejar ketiga cowok SMA berandalan itu.
“Nak, kalian baik-baik aja kan?” tanya seorang Bapak paruh baya pada Nouval dan yang lainnya.
“Kami baik-baik aja, Pak,” jawab Nouval tegas.
“Besok-besok jangan lewat dari sini. Dari jalan raya saja. Di sini jalannya kecil. Anak-anak SMA kaya tadi sering melakukan aksinya.”
Nouval menganggukkan kepalanya. Setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Budi. Tidak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sesampainya di rumah Budi, Berta mendekati Nouval.
“Maafin aku ya, Nouval. Aku udah jahat banget sama kamu. Meski aku jahat, kamu tetap nolong aku tadi. Maafin aku ya. Aku janji nggak bakalan ngata-ngataain kamu lagi,” sahut Berta dengan tulus.
Nouval tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Kamu mau nggak jadi sahabat aku?” tanya Berta seraya menyodorkan jemarinya.
“Mau dong. Lagian dari kemarin-kemarin kamu dan teman-teman yang lain sudah kuanggap sebagai sahabat aku,” ucap Nouval seraya membalas salaman dari Berta.
Berta tersenyum lebar. Kemudian dia berteriak kencang.
“Teman-teman…. Nouval sekarang sudah jadi sahabat aku lhoo….”
Semua yang melihat Nouval dan Berta tersenyum senang lalu ikutan bergabung dengan keduanya.
“Nouval kamu kok bisa karate sih? Kamu keren banget tadi,” tanya Jamilah penasaran.
“Waktu di Jakarta aku ikut kelas karate. Nanti aku ajarin kalian ya dasar-dasarnya. Kalian mau aku ajari?”
“Mauuu…” teriak mereka serempak.

Selamat Hari Guru, Bu

Kepada seluruh guru yang hadir dalam hidupku. Tanpa kalian, aku tidak akan bisa seperti sekarang.

Cara mengirim cerpen anak ke Harian Analisa Medan:

Tulisan berupa cerpen anak atau dongeng. Kira-kira 3 halaman A4. Kirim ke email: online@analisadaily.com

Honor: Rp 50.000

Masa tunggu: bisa cepat, bisa lama

Kalau cerpen anak saya ini masa tunggunya seminggu

Semoga beruntung ^_^

Selamat Hari Guru, Bu

Selamat Hari Guru, Bu

SELAMAT HARI GURU, BU

Eva Riyanty Lubis

            Halim pusing tujuh keliling. Bawaannya jadi pendiam dan uring-uringan. Dan itu sudah terjadi selama dua hari ini. Mama sampai bingung dikarenakan tingkahnya. Setiap mama tanya dia kenapa, dia malah melongos pergi dari hadapan mama.

            Karena cemas, mama pun menyuruh papa dan Ricko, abang Halim, untuk mencari tahu penyebab berubahnya sikap Halim. Sebab sehari-harinya Halim tergolong anak yang ceria dan tidak pernah betah di rumah. Apalagi kalau ada waktu luang. Dia pasti memilih bermain bersama teman-temannya di luar. Main sepeda, kelereng, dan sebagainya.

            Papa dan Ricko ternyata tidak berhasil membujuk Halim untuk berbicara. Mama semakin cemas dibuatnya.

            “Nanti dia pasti ngomong, Ma.” Papa membesarkan hati mama.

            “Mama nggak senang lihat Halim kaya gini, Pa,” tukas mama sedih.

            “Mama percaya saja, nanti dia pasti cerita. Sekarang kita biarkan dia sendiri dulu,” sahut papa akhirnya.

*

            Di sekolah, sikap Halim pun tetap seperti itu. Hendra teman sebangku Halim sebenarnya paham apa yang Halim pikirkan.

            “Nggak usah pusing, Lim. Kamu pasti bisa,” ucap Hendra dengan mata berbinar.

            “Ish, ini ulah kalian semua. Gara-gara ini aku jadi pusing tujuh keliling,” gerutu Halim kesal.

            “Haiyaa, masa gitu aja kamu nggak bisa hadapi? Kan kamu ketua kelas. Ini udah jadi tugasmu juga,” ledek Hendra.

            “Harusnya kalian yang merasakan apa yang aku rasakan,” rungut Halim.

            “Bismillah saja, kamu pasti bisa. Hayoo semangat, Halim!”

            Dan Halim hanya bisa geleng-geleng kepala.

*

            Malamnya, Halim berjalan ke ruang keluarga. Di dapatinya mama dan papa tengah menonton televisi bersama.

            “Eh, Halim, duduk sini, Nak,” ucap Mama dengan suara lembutnya.

            Halim menurut dan duduk tepat di samping Mama.

            “Ada apa, Sayang?” tanya Mama lagi.

            “Hmm…. Halim nggak tahu harus ngomong dari mana,”

            “Halim ada masalah apa sih, Sayang? Mama benar-benar penasaran lho. Mama nggak suka lihat Halim uring-uringan gitu. Kan Mama selalu bilang sama Halim, kalau ada masalah, cerita sama Mama. Nanti kita coba cari solusi bersama-sama. Ya kan, Pa?” mama memandang Papa. Papa pun menganggukkan kepala.

            “Halim disuruh teman-teman untuk ngucapin selamat hari guru buat Ibu wali kelas.”

            “Wali kelas Halim Bu Zahrona, kan? Apa susahnya, Sayang?” tanya Mama penuh tanda tanya.

            “Salahnya Halim lagi merasa bersalah sekaligus kesal sama Ibu itu, Ma. Beberapa hari yang lalu Halim kena hukum gara-gara lupa ngerjain peer,” jelas Halim dengan kening berkerut.

            Mama tersenyum. “Nak, kalau kamu nggak buat salah, Bu Zahrona juga pasti nggak bakalan hukum kamu. Nah, pas ngucapin selamat hari guru nanti, ungkapin deh rasa menyesalmu pada beliau. Mama yakin Halim pasti dimaafin,”

            “Tapi Halim malu, Ma. Mama kan tahu kalau Halim ketua kelas. Masa gara-gara lupa ngerjain peer aja Halim dihukum?”

            “Biar adil, Sayang. Kalau kamu nggak dihukum, bagaimana pula dengan temanmu yang lain? Udah, pokoknya kamu nggak perlu pusing. Minta maaf sama Bu Zahrona pas di hari Guru itu momen yang tepat. Gimana, bisa kan?”

            Halim pun mengangguk pelan. Mama tersenyum memandangi putra bungsunya tersebut.

*

            Halim berdiri di depan kelas. Ungkapan selamat hari Guru mengalir lancar di bibirnya. Bu Zahrona dan teman-teman sampai kagum dibuatnya.

            “Dan yang terakhir, Halim minta maaf pada Ibu karena Halim belum bisa menjadi murid yang baik. Halim bahkan sempat benci sama Ibu sebab Ibu ngasih hukuman ke Halim. Maafin Halim ya, Bu. Halim salah dan Halim udah sadar. Halim sayang sama Ibu. Tanpa Ibu, Halim mungkin bakalan jadi anak bodoh selamanya,” sahut Halim jujur.

            Bu Zahrona tersenyum penuh haru mendengar pengakuan Halim. Ketika Halim sudah duduk di kursinya, Bu Zahrona berkata, “Ibu juga minta maaf pada kalian. Ibu sayang kalian. Dan Ibu pengen kalian menjadi anak-anak cerdas yang nantinya bisa membanggakan orang tua, bahkan Negara Indonesia tercinta ini. Dan Halim, terima kasih pidato singkatnya yang penuh kejujuran.”

            Di kursinya, Halim tersenyum malu sekaligus senang. Ternyata, semua tidak seburuk yang dia pikirkan.

PUTRI DAN RUMAH TUA

Yang mau baca cernak ane, silahkan monggo ya :)) Ditunggu kritik pedasnya….

PUTRI DAN RUMAH TUA
Oleh: Eva Riyanty Lubis

            Mama sudah berulang kali mengingatkan Putri agar jangan bermain ke rumah tua yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah mereka. Rumah tua itu berwarna hitam. Gelap. Penuh dengan sampah, sarang laba-laba, bahkan kotoran dari berbagai macam hewan. Hal itu membuat orang yang melihat dan melintasinya menjadi takut. Pasalnya rumah itu juga tidak terurus sebab sudah lama tidak ditempati. Kata orang-orang yang tinggal di sana, dulu di rumah itu terjadi kasus pembunuhan.

Putri tidak peduli dengan semua itu. Bahkan karena larangan mama yang semakin keras kepadanya, dia malah semakin penasaran ingin memasuki rumah tua itu. Sejak pindah rumah ke desa itu kurang lebih dua bulan yang lalu hingga kini, niatnya itu belum tersampaikan.

Hari Minggu tiba. Papa dan mama Putri berangkat ke kota karena ada urusan. Putri menolak untuk ikut dan berbohong kalau kepalanya sedang sakit. Mereka percaya dan akhirnya meninggalkan Putri dan Bibi Minah di rumah.

Putri girang bukan main. Itu artinya dia mempunyai kesempatan untuk memasuki rumah tua itu. Dengan alasan ingin menemui teman sekolah, Putri meminta izin kepada Bibi Minah. Dan sudah pasti Bibi Minah tidak akan menolak. Apalagi dengan raut wajah Putri yang penuh harap.

Putri bersorak dalam hati. Diambilnya senter dan segera berlari mengendap-endap menuju rumah tua itu.

Kreeek…. Pintu berderit. Aroma debu menyerbu hidung Putri. Putri langsung menutup hidungnya dan mulai menyalakan senter. Rumah tua itu benar-benar gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui pentilasi. Putri mengitari seluruh isi rumah. Dia berdecak kagum. Rumah tua itu tidak sepenuhnya jelek dan menakutkan. Masih banyak perabotan di sana. Kelihatannya dulu penghuni rumah itu merupakan orang kaya.

“Siapa kamu?“ seseorang mengagetkan Putri. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Tetapi dengan segera bocah delapan tahun itu membalikkan badan dan menatap siempunya suara.

Putri tampak kikuk. Walau begitu diberikannya juga seulas senyum kepada bocah berambut panjang dihadapannya itu. “Namaku Putri.” Putri menyodorkan tangannya. Beberapa menit ia menunggu, namun tidak ada balasan.

“Ngapain kamu ke sini?”

“Aku hanya ingin melihat isi rumah ini. Lalu kamu sendiri ngapain di sini? Setahuku rumah ini sudah tidak berpenghuni,“ ucap Putri dengan wajah sedikit bingung.

“Aku hantu.“

Putri melongo. “Mana ada hantu cantik kaya kamu,” ucap Putri asal. Bocah dihadapannya terkikik.

“Loh, kok ketawa?” Tanya Putri bingung.

“Kamu lucu.” Jawabnya masih dengan tawa.

“Oh ya, aku Bella.” Tambahnya.

“Waw…. Namamu manis. Kalau begitu, maukah kau menjadi temanku?” tanya Putri antusias.

“Kamu tidak takut kepadaku?“

“Kenapa harus takut? Kamu cantik. Punya rambut panjang. Wajahmu juga imut. Umur kita juga keliatannya sama.“ Jelas Putri.

“Aku berbeda denganmu. Lihat, kakiku tidak menginjak tanah,“ dia menunjukkan kakinya yang tidak menyentuh lantai.

Bukannya takut, Putri malah berdecak kagum. “Hebat kamu Bel. Jadi kamu bisa terbang dong?“

Bella tersenyum sambil mengangguk.

“Maukah kau mengajakku terbang?“ tanya Putri yang masih menunjukkan wajah kebahagiaan. Lagi-lagi Bella mengangguk.

“Datanglah ke sini kapanpun kau mau. Kita akan terbang dan bermain bersama.“ Ucap Bella dengan senyumnya yang manis.

Maka sejak hari itu mereka berdua menjadi akrab. Bahkan mereka berjanji akan menjadi sahabat sampai kapanpun juga.

Suatu hari tatkala mereka tengah bercengkrama pada salah satu kamar di rumah tua itu, seseorang muncul. Wajahnya menyeramkan. Rambutnya panjang menjuntai tak terurus. Dia memakai jubah putih yang sudah kusam. Namun ada sayap yang begitu indah di balik punggungnya. Sontak Putri terkejut dan langsung bersembunyi ke belakang tubuh Bella.

“Apa yang kamu lakukan di sini?“ tanya Bella kepada wanita itu.

“Ini kesempatanmu. Bukankah kau masih ingin menjadi seorang peri?“ tanya wanita itu dengan sorot matanya yang tajam.

Bella mengangguk.

“Hei bocah cilik!“ dia menunjuk Putri. “Apa kamu menyayangi Bella?“ tanyanya pada Putri. Putri yang tadi bersembunyi di balik punggung Bella akhirnya menampakkan diri.

“Ya, aku sangat menyayanginya.“ Ucap Putri pelan. Tak berani menatap mata wanita seram itu.

“Ok. Akan kujelaskan padamu. Putri bukan manusia. Bukan juga hantu. Dia seorang peri yang kukutuk. Namaku Elda. Aku peri hakim. Yang bertugas mengutuk peri-peri yang berbuat salah. Bella telah melakukan kesalahan. Dia tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Maka aku membuangnya ke bumi ini. Sudah bertahun-tahun dia di sini. Sendirian tanpa teman. Itu sebelum kau muncul.“

Putri terkejut mendengar penjelasan wanita itu.

“Kutukannya hilang kalau kau dibunuh dan darahmu diminum oleh Bella.“

“TIDAK! Aku tidak mau Putri mati. Lebih baik aku tetap di sini dari pada melihatnya mati!“ Bella membentak wanita itu dan menatapnya tajam.

Wanita seram itu tersenyum. “Bagaimana menurutmu, Putri?“ tanyanya pada Putri.

“Aku rela dibunuh. Aku menyayangi Bella.“

Sedetik kemudian sebilah pisau telah ada dalam genggaman tangan wanita itu. “Pejamkan matamu. Dan semuanya akan berakhir.“

Putri menurut. Sedang Bella menangis histeris.

“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…. Jangan lakukan itu.“

Pisau telah menyentuh leher Putri. Dan seketika tubuh Bella berubah. Parasnya semakin cantik. Sepasang sayap berwarna bening muncul dari balik punggungnya.

“Kau lulus ujian, Putri. Kau telah menyelamatkan Bella dengan sikapmu yang tulus kepadanya.“ Ujar wanita itu dengan seulas senyum dari sudut bibirnya.

Ternyata Putri tidak dibunuh. Rasa tulus Putrilah yang menghapus kutukan itu. Seketika wanita itu menghilang.

Bella memeluk Putri. “Aku menyayangimu, Putri.“ Bisik Bella dan seketika terbang meninggalkan Putri.

Sejak saat itu, rumah tua tidak lagi menyeramkan.